Senin, 20 April 2015

Biotipe Serangga

I.        PENDAHULUAN
Serangga ada dimana-mana. Ini adalah suatu pernyataan yang benar, karena dengan cara perhitungan apapun, baik darisegi jenis maupun jumlah,dari semua hewan dan tumbuhan yang ada di bumi ini, lebihdari 60 %-nya adalah kelompok serangga, yaitu hewan berkaki enam. Sampai saat ini lebih dari satu juta spesiesserangga sudah dikenal, tetapi tidak seorang pun tahu atau akan tahu berapa jumlah sebenarnya yang ada di bumi, masih jutaan jenis serangga yang belum dikenal, terutama serangga dari daerah tropis. Berdasarkan data keragaman global pada tahun 1990-an, para peneliti memperkirakan jumlah spesies serangga berkisar antara 5—10 juta (Gaston,1992dalam Ahmad (2011).
Mengingat jumlahnya yang amat banyak dan ada di mana-mana, serangga amat berperan bagi ekosistem dan bagi keberadaan manusia di bumi. May Berenbaum (1995), entomologistdari University of Illinois dalam Ahmad (2011) menyatakan peran serangga sebagai berikut: “ like it or not, insects are a part of where we have come from, what we are now, and what we will be “ (Suka atau Tidak, Serangga adalah bagian tak terpisahkan dari kita, apa waktu kita sekarang dan apa kemauan mereka). Beberapa contoh dapat disampaikan di sini, seperti penyuburan tanah, siklus nutrisi, propagasi tanaman, polinasi dan penyebaran tanaman, termasuk menjaga struktur komunitas hewan melalui rantai dan jaring makanan.
Sebagai kelompok organisme yang amat penting bagi ekosistem, para ahli menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies serangga berdampak terhadap keberadaan dan kompleksitas organisme lainnya. Bahkan beberapa serangga dinyatakan sebagai ‚keystone species‛,misalnya peran rayap sebagai dekomposer, atau pun serangga yang hidup dalam ekosistem akuatik, yang berperan dalam siklus nutrisi untuk kehidupan organisme di dalam air (Gullan dan Cranston, 2005dalam Ahmad, 2011).
Serangga herbivora untuk mempertahankan hidupnya membutuhkan tanaman sebagai makanan. Kegiatan makan bagi serangga bertujuan untuk mendapatkan energi agar dapat melakukan aktivitas hidup seperti kopulasi, migrasi, pertumbuhan dan reproduksi. Pada dasarnya serangga melakukan aktivitas atau perilaku tertentu agar serangga dapat survive, mungkin termasuk strategi menghindar dari predator. Serangga pada dasarnya seperti hewan lain butuh energi, bila kebutuhan energi tidak terpenuhi bisa kita bayangkan, maka serangga akan punah dari permukaan bumi.

Bila ditinjau dari sudut evolusi serangga mampu beradaptasi dengan berbagai habitat (Borror, 2005dalam Riyanto, 2010), ini menunjukkan serangga memiliki kemampuan adaptasi tinggi. Mungkinkah termasuk mekanisme perilaku serangga mematahkan pertahanan tanaman inang adalah strategi serangga untuk survive?.
Tumbuhan sebagai makanan serangga herbivora dapat mempertahankan diri dari serangan serangga dengan membentukpertahahan kimia dan fisik. Pertahanan kimia dengan cara membentuk metabolit sekunder berupa senyawa kimia yang tidak disukai oleh serangga atau beracun bagi serangga. Senyawa kimia untuk pertahanan biasanya termasuk antixenosis dan antibioxis. Sedangkan pertahahan fisik tanaman misalnya trikhoma, kekerasan jaringan dan lain-lain (Schoonhoven, 1997dalam Riyanto, 2010). Sifat pertahan fisik tanaman umumnya dibawa oleh gen -gen tertentu.Tumbuhan bertindak sebagai inang harus dapat menyediakan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi serangga. Dengan konsep ini serangga yang makan harus mencerna makananyang tidak hanya sesuai kebutuhan tetapi juga harus mampu mengasimilasi serta mengubah menjadi energi dan substansi-substansi struktural untuk kegiatan-kegiatan normal serta perkembangan.
Satu sisi tanaman harus mempertahankan diri, namun serangga herbivore membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga serangga harus mencari jalan bagaimana dapat mengatasi pertahanan tanaman pada berbagai situasi, kondisi, ruang dan waktu. Perilaku beradaptasi terhadap lingkungan sangat diperlukan oleh serangga untuk mengatasi rintangan yang merupakan pertahanan tumbuhan misalnya rintangan kandungan allelokimia, fisik tanaman dan ekologi. Keadaan ini berarti serangga harus dapat mematahkan pertahanan tanaman, baik pertahaan kimia maupun pertahanan fisik agar tetap survive .
Penggunaan varietas tahan secara terus menerus dalam rangka penanggulangan serangan hama ternyata dapat merangsang timbulnya ras atau biotipe baru dari serangga hama tersebut. Sebagai gambaran dari pengalaman di lapang menunjukkan penanaman padi varietas PB 26, yang memiliki gen Bph-1 (untuk menanggulangi wereng coklat biotipe-1), ternyata mendorong terbentuknya biotipe-2. Demikian pula di Sulawesi Utara, penanaman varietas IR 42 (untuk menanggulangi wereng coklat biotipe-2), mendorong terbentuknya biotipe Sumatera Utara (SU).



II.     MEKANISME KETAHANAN TANAMAN
Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan dengan perkembang biakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan.Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli (terbawa keturunan factor genetic) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang mendorong tanaman menjadi relative tahan terhadap serangan hama
KETAHANAN GENETIK
Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama yaitu: ketidaksukaan, antibiosis, dan toleran.
1.    Ketidaksukaan atau nonpreference
Merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanam baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Antixenosis kimiawi terjadi karena tanaman mengandung alelokimiawi yang menolak kehadiran serangga pada tanaman. Antixenosis morfologik, ketahan tanaman disini terbawa oleh adanya sifat-sifat struktur dan morfologik tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan dan peletakan telur yang normal.
2.    Antibiosis
Antibiosis semua pengaruh fisiologhi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar dimulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinyta kematian serangga.
3.    Toleran
Mekanisme terjadinya resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanam tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangga hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangga hama kurang mempengaruhi hasil dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka.


KETAHANAN  EKOLOGI
Ketahanan ekologi merupakan sifat ketahan tanaman yang tidak dikendalikan oleh factor genetic, tetapi sepenuhnya oleh factor lingkungan yang memungkinkan munculnya kenampakan sifat ketahan tanaman terhadap hama tertentu.
Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu:
1.    Pengelakan inang
Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif mengkonsusmsi tanaman.
2.    Ketahanan dorongan
Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain.
3.    Inang luput dari serangga
Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama sekitarnya pada waktu itu cukup tinggi.
DASAR GENETIK KETAHANAN TANAMAN
Ada 2 tipe ketahanan genetic yaitu :
1.    Ketahanan vertical
Ketahanan ini ditunjukan dari kultivar yang lebih peka terhadap biotipe-biotipe serangga tertentu dibandingkan dengan biotipe-biotipe lainya. Oleh karena ketahanan tanaman tersebut terbatas pada satu atau sedikit genotip tertentu. Sifat ketahanan ini dikendalikan oleh satu atau sedikit gen pada tanaman.
2.    Ketahanan horizontal
Adalah ketahanan tanaman yang ditunjukan terhadap kisaran luas genotype hama dan sifat ketahanan ini bebas dari adanya biotipe-biotipe serangga hama, ketahanan ini dikendalikan oleh banyak gen.
Pengelompokan tanaman tahan hama juga dapat dilakukan menurut bagaiman cara sifat ketahanan tersebut diturunkan.  Ketahanan dapat dibedakan atas 3 kelompok yaitu:
1.    Ketahanan oligogenik
Yaitu ketahanan yang ditentukan oleh satu atau sedikit gen tersebut yang berpengaruh, masing-masing gen dapat diketahui. Apabila hanya satu gen yang menentukan ketahanan tanaman disebut ketahanan manogenik.  Tipe ketahanan ini biasanya menghasilkan resistensi vertical terhadap serangga dan dapat diturunkan melalui gen dominan atau gen resesif.
2.    Ketahanan poligenik
Yaitu sifat ketahanan yang ditentukan oleh banyak gen dan setiap gen menyumbangkan sedikit terhadap sifat ketahanan. Sifat ketahanan diturunkan melalui cara yang sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan sifat-sifat tanaman lain seperti kekuatan tanaman dan hasil .
3.    Ketahanan sitoplasmik
Penurunan sitoplasmik disebabkan karena adanya bahan yang mampu untuk memperbanyak sendiri dan mengadakan mutasi yang hanya dijumpai di sitoplasma. Ketahanan ini diturunkan secara maternal karena kebanyakan sitoplasma dari zygot datang dari ovum. Sifat ketahanan ini terjadi pada ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit.
III. BIOTIPE SERANGGA
1.    Pengertian Biotipe
Eastop(1973) dalam  Claridge dan Hollander (1983)telah mengatakan, 'biotipe adalah konseptaksonomibanyak digunakan olehnontaxonomists!' Oleh karena itucenderung berartihal yang berbeda untukpekerjayang berbeda. Maxwell danJennings(1980) dalam  Claridge dan Hollander (1983), dalam daftar kata untukringkasanmerekatentang pemuliaan tanamantahan terhadapserangga, mendefinisikanbiotipe adalahistilah dalamentomologisebagai' individu atau populasiyangdibedakan darisisaspesiesdengan kriteriaselainmorfologi, misalnya  perbedaan dalamkemampuanparasit.
Eastop (1973)dalam  Claridge dan Hollander (1983),  mengkaji konsep biotipe dengan referensi khusus untuk kutu daun dan menyarankan bahwa istilah itu biasanya identik dengan klon dan disebut individu dari genotipe yang sama. Karakteristik biologis yang paling signifikan dari biotipe tersebut adalah kemampuan mereka untuk makan, dan kerusakan tanaman tahan terhadap semua atau beberapa biotipe lain (klon).
Claridge dan Hollander (1983) mengatakan dimanaada hubungangen-gen untuk-konsep biotipemungkin berguna, karenabiotipetertentudapat didefinisikan sebagaiindividu-individudalam suatu populasiyang memilikigen tertentuuntukvirulensi. Namun, jikafenomena yang samayang diproduksioleh sistempoligenik, atau bahkanoleh sekelompokkompleksgenutama, akan sulituntuk menentukanbiotipeselain denganefekfenotipiknya.
Serangga di alam memiliki kemampuan untuk menghasilkan biotipe baru yang dapat hidup dan berkembang pada varietas tahan. Penanaman varietas yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi secara luas dan terus menerus dapat mempercepat terjadinya biotipe baru. Kemungkinan pembentukan biotipe baru menjadi lebih besar apabila ketahanan varietas yang tinggi ditentukan oleh satu pasang gen saja, seperti yang temui pada ketahanan varietas padi terhadap serangga wereng coklat dan wereng hijau.
Biotipe merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan suatu kelompok populasi lain dari spesies yang sama, memiliki bentuk morfologik yang sama tetapi berbeda dalam sifat fisiologi dan perilakunya termasuk preferensi terhadap tanaman inang. Pemunculan biotipe merupakan proses seleksi alami yang dipercepat oleh tindakan manusia. apabila tanaman tahan hama ditanam secara terus menerus dalam areal luas akan menjadi suatu tekanan seleksi untuk mempercepat terbentuknya biotipe baru.
Menurut Nuraeni (2010) Biotipe adalah Subkelompok dalam spesies biasanya dicirikan dengan pemilikan satu atau beberapa sifat umum, sedangkan menurut Anonim (2010) Biotipe merupakan kelompok dalam suatu spesies serangga hama yang mempunyai ciri biologi yang berbeda.
Pada wikipedia bahasa Indonesia (2014) ditulis bahwadalam bidang pertanian,
biotipe adalah sekelompok populasi hewan (biasanya diterapkan pada hama) yang memiliki pola kesukaan (preferensi) yang sama dalam pengujian penyaringan (screening).Prosedur baku penyaringan dalam pengendalian hama biasanya dilakukan dengan memaparkan suatu populasi yang dikoleksi terhadap sejumlah varietas tanaman tertentu (telah ditentukan sebelumnya untuk pengujian). Suatu biotipe akan memilih varietas tertentu yang disukainya dan menghindari yang lain. Karena pola kesukaan ini berkaitan dengan keadaan fisiologi dan biokimia (misalnya kekurangan enzim tertentu) hewan yang bersangkutan, biotipe juga dapat ditentukan melalui pengamatan langsung kepada populasi yang bersangkutan. Biotipe juga seringkali dapat ditentukan dari kemiripan genom
Menurut Anonim (2011) Biotipe adalah suatu populasi atau individu lain berdasarkan pada kemampuan populasi atau individu lain bukan karena sifat morfologi, tetapi didasarkan pada kemampuan adaptasi, perkembangannya pada tanaman inang tertentu, daya tarik untuk makan dan peletakkan telur.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya biotipe baru adalah adanya seleksi Darwin. Serangga hama memiliki susunan genetik sangat beragam, sebagian dapat hidup pada varietas tahan yang ditanam. Akibat varietas itu ditanam secara terus menerus dalam jangka waktu lama, ditambah jika adanya rangsangan dari faktor lain yang mempengaruhinya, maka biotipe itu akan timbul lebih cepat.
Painter (1951) dalam Sodiq (2009) mengelompokkan biotipe serangga menjadi dua golongan, yaitu biotipe yang kuat dapat hidup pada tanaman yang tahan misalnya kutu daun pada kacang kapri dan biotipe yang khusus berasosiasi dengan gen tahan tertentu seperti pada wereng coklat.
2.    Biotipe Serangga dan Variatas Tahan Hama
a.         Hama Wereng Batang Coklat (WBC)
Wereng coklat, sampai saat ini mempunyai 4 biotipeyang masing-masing mampu menyerang berbagai varietas padi yang memiliki genketahanan yang berbeda-beda (Oka,1995). Varietas padi IR yang tahan terhadap wereng: IR62 (tahan WBC biotipe 1,2,3), IR64 (tahan WBC biotipe 1,2), IR74 (tahan  WBC biotipe 1,2), IR42 (tahan WBC biotipe 1,2), IR36 (tahan WBC biotipe 1,2).
Sebagai gambaran dari pengalaman di lapang menunjukkan penanaman varietas PB 26, yang memiliki gen Bph-1 (untuk menanggulangi wereng coklat biotipe-1), ternyata mendorong terbentuknya biotipe-2. Demikian pula di Sulawesi Utara, penanaman varietas IR 42 (untuk menanggulangi wereng coklat biotipe-2), mendorong terbentuknya biotipe Sumatera Utara (SU).
Varietas tahan memungkinkanmemiliki sifat-sifat repelen (menolak) yang menyaingi atau mengalahkan sifat-sifat yang menyebabkan hama tertarik (Untung, 2001dalam Rugaya dan Dahyar, 2013). Selain ini masih tahan atautolerannya varietas ini karena gen tahan yang dimiliki varietas ini adalah gen tahan bph 3. Varietas yang memiliki gen tahan bph 3 tahan terhadap wereng cokelat biotipe 1,2, dan 3. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Pathak dan Khan (1994) dalam Rugaya dan Dahyar (2013) bahwa wereng coklat biotipe 1 hanya mampu menyerang varietas padi yang tidak memiliki gen tahan terhadap serangan wereng coklat. Wereng Batang Coklat biotipe 2 dapat menyerang pada varietas padi yang memiliki gen ketahan bph 1. Wereng batang coklat biotipe 3 selain dapat menyerang varietas padi tanpa gen ketahanan, juga menyerang varietas padi dengan gen tahan bph 1 dan bph 2 tetapi tidak merusak gen tahan bph 3 dan bph 4.
Penanaman padi yang terus menerus dengan menggunakan varietas yang sama dengan memiliki gen tahan tunggal juga dituding dapat mempercepat timbulnya biotipe baru wereng coklat. Ini terbukti, ketika dilepasnya varietas “Pelita I” pada tahun 1971, pada tahun 1972 muncul wereng coklat berubah menjadi wereng coklat  Biotipe 1.
Untuk menghadapi biotipe 1 lalu diperkenalkan varietas “IR26” pada tahun 1975. Namun  dalam waktu setahun terjadi ledakan hebat untuk hama ini di beberapa daerah sentra produksi padi. Hal ini menandakan  berubahnya wereng coklat  Biotipe 1 menjadi  wereng coklat Biotipe 2. Pada tahun 1981 pun,  wereng coklat Biotipe 2 berubah menjadi wereng coklat Biotipe 3.
“Wereng coklat Biotipe 3 ternyata memakan waktu 25 tahun untuk mengalami perubahan menjadi wereng coklat Biotipe 4, kini tipe 4 mulai terdektesi di wilayah Asahan Sumatera  Utara,” ungkap Baehaki. Keberadaan wereng coklat Biotipe 3 terbilang lama untuk beradaptasi. Hal ini, lanjut Baehaki, disebabkan varietas "IR64" merupakan varietas durable resistance yang mampu menghambat perubahan wereng coklat ke tipe baru lagi.
Pengelolaan penyakit tungro berdasarkan kemjauan di bidang biologi molekuler meliputi : (1) diagnosis penyakit tungro, (2) deteksi dini infeksi virus tungro dan vektor infektif (mengetahui keberadaan sumber inokulum dan penularannya),(3) identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau (keragaman genetik virus tungro dan biotipe wereng hijau berdasarkanperbedaan virulensi virus tungro, efisiensi penularan oleh wereng hijau danperbedaan geografis), (4) pemantauan resistensiwereng hijau terhadap suatu varietas dan munculnya strain virus tungro dan biotipe wereng hijau yang baru,(5) karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau (keragaman genetik varietas berdasarkan tingkat ketahanannya), dan(6) perakitan varietas tahan berdasarkan sifat ketahanannya terhadap virus tungro danwereng hijau (varietas tahan spesifik lokasi) serta perakitan varietas transgenik tahan virus tungro (Heru dan Yasin, 2008).
Keragaman ketahanan genetik varietas akanmeningkatkan durabilitas ketahanan varietas,menurunkan tekanan seleksiwereng hijau dan virus tungro, serta mencegah terjadinya epidemi penyakittungro. Oleh karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahandan strain virus tungro harus terus-menerus dilakukan (Hasanuddin et al.2001dalam Heru dan Yasin, 2008).Pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada perakitan varietastahan virus terutama RTSV karena dapat menghambat penyebaran RTBV,oleh wereng hijau, sehingga tidak terjadi infeksi ganda (Widiarta et al. 2004dalam Heru dan Yasin, 2008  ).
Perkembangan teknologi rekombinan DNA membukapeluang perakitan tanaman tahan virus tungro melalui rekayasa genetik.Berdasarkan faktor patogenisitas virus tungro dan penyakit tungro diharapkandapat dilakukan perakitan varietas transgenik tahan virus tungro melaluiteknologi transformasi. Perakitan varietas transgenik dapat dilakukan denganmentrasfergen dari virus ketanaman yangumumdinamakan dengan pathogenderivedresistance (PDR).PDRyang dapat digunakan dalamperakitan varietastransgenik di antaranya adalah coat protein-mediated resistance (CP-MR), replicase protein-mediated resistance (Rep-MR),movement protein-mediated resistance (MP-MR), satellite RNA (sat RNA) dan defective-interfering viral nucleic acids(Dasgupta et al. 2003dalam Heru dan Yasin, 2008).
Varietas padi tahan wereng coklat antara lain : IR 36, IR 48, IR 64, Porong, Sentani, IR 65, Dodokan, Btang Pane, Cimanuk, Progo , Kelara, Citanduy, Cipunegara, Kruing Aceh, Cikapundung
b.   Hama Wereng Hijau dan Tungro
Penggolongan varietas padi tahan wereng hijau berdasarkan gen tahan tetua menurut Sama et al (1991) dalam Widiarta (2005) sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.
Golongan
Varietas
Gen Tahan
T 0
IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, Lusi
-
T 1
IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, Serayu
Glh 1
T 2
IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan,
Ciliwung, Krueng Aceh, Bengawan Solo
Glh 6
T 3
IR50, IR48, IR54, IR52, IR64
Glh 5
T 4
IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, Klara
Glh 4

Penyakit tungro disebabkan oleh dua virus yaitu virus berbentuk batang (rice tungro bacilliformvirus: RTBV) dan bulat (rice tungrospherical virus: RTSV).Dalam penularan virus tungro, RTBV merupakan virus dependen, sedangkan RTSV sebagai virus pembantu (helpervirus). Wereng hijau dapat menularkan RTSV dan RTBV secara bersama-sama dari sumber inokulum yang mengandung kedua virus. Penularan RTBV hanya terjadi apabila vektor telah menghisap RTSV terlebih dahulu, sedangkan penularan RTSV dapat terjadi tanpa bantuan RTBV (Hibinoetal.1977,Sumardiyonoetal.2004)
c.    Lalat Pengorok Daun (Liriomyza huido brensis)
Menurut Setiawati dkk (1988) dalam Sarjan (2003) terdapat beberapa klon tanaman kentang yang tahan terhadap serangan lalat penggorok daun kentang yaitu CIP.86 – 136, CIP 87.282, CIP 387. 169.14, K. 419.8.GT, dan K. 432.5 GT, juga Kentang Klon No. 17 (varietas Merbabu) dan Klon No. 08 tahan terhadap hama pengorok daun.
d.      Bemasia tabaci
Bemisia tabaci yang dikenal dengan sebutan kutu kebul merupakan vektor penyakit kuning pada tanaman cabai yang disebabkan oleh Geminivirus. Kutu kebul mempunyai tujuh kelompok biotipe, salah satunyaadalah biotipe B yang bersifat polifag dan tersebarluas (Perring, 2001dalam Trisno dkk, 2010), termasuk Indonesia (Aidawati,2005dalam Trisno dkk, 2010). Biotipe yang dominandijumpai di Indonesiaadalah biotipe non B (Aidawati, 2005; Rahayu,2009dalam Trisno dkk, 2010), dan di Sumatera Barat juga ditemukan biotipenon B (Trisnoet al. 2008dalam Trisno dkk, 2010).
Menurut Hidayat dkk (2004) diduga di Indonesia terdapat dua jenis B. tabaci yaitu biotipe A dan biotipe B. Pengetahuan mengenai biotipe B. tabaci terkait dengan strategi diagnosis yang dapat dijadikan landasan untuk mempelajari hubungan antara keragaman dengan kemampuan menyebarkan virus gemini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dkk (2004),hasil pengujian biotipe dengan indikator kemampuan menginduksi daun labu menjadi perak menunjukkan bahwa populasi B. tabaci dari brokoli mampu menginduksi warna daun labu menjadi perak, sedangkan populasi B. tabaci yang berasal dari tanaman lain tidak mampu mengiduksi warna daun labu menjadi perak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua biotipe B. tabaci yaitu biotipe ”B” dan biotipe ”non B”. Di Amerika Serikat, kutukebul B. tabaci biotipe ”B” juga dikenal sebagai spesies baru ”Bemisia argentifolii Bellows & Perring”. Pada satu populasi kutukebul di brokoli ditemukan B. tabaci biotipe B yang dikenal sangat agresif dan dapat menyebabkan kerugian yang besar pada tanaman sayuran.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapatlah diambil beberapa simpulan tentang biotipe serangga sebagai berikut :
1.      Biotipe merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan suatu kelompok populasi lain dari spesies yang sama, memiliki bentuk morfologik yang sama tetapi berbeda dalam sifat fisiologi dan perilakunya termasuk preferensi terhadap tanaman inang.
2.      Pemunculan biotipe merupakan proses seleksi alami yang dipercepat oleh tindakan manusia. apabila tanaman tahan hama ditanam secara terus menerus dalam areal luas akan menjadi suatu tekanan seleksi untuk mempercepat terbentuknya biotipe baru.
3.      Ada dua golongan atau kelompok biotipe serangga yaitu biotipe yang kuat dapat hidup pada tanaman yang tahan dan biotipe yang khusus berasosiasi dengan gen tahan tertentu.
4.      Terjadinya perubahan biotipe pada serangga dapat terjadi secara cepat atau lambat tergantung pada banyak atau sedikitnya gen tahan yang dimiliki varietas tahan tersebut serta pola tanam dan tindakan pengendalian hama yang diterapkan.




DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. Pengendalian Penyakit Tungro, Badan Litbang-Kementerian Pertanian – Republik Indonesia, BPTP Bali.

Araz Meilin dan Hayata, 2012. Inventarisasi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) Pada Pertanaman Padi Di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Edisi Kuhusus Tahun 2012,diakses tanggal  22 Oktober 2014
Aryani  R, 2011. Penggunaan Varietas Tahan, riecha-aryani.blogspot.com,diakses tanggal 24 Oktober  2014.

Claridge M.F dan  J de Hollander (1983), The biotype concept and its application to insect pests of agriculture, Crop  Protection (1983) 2 (1), 85-95, diakses 29 Oktober 2014

Endang Sri Ratna,dkk. 2010. Responmorfo·Fisiologi WerengBatang Cokelat Biotipe 1, 2, 3 Terhadap 6 Varietas Padi Tahan Dan 1 Varietas Rentan UntukMendapatkan Varietas Durable Resistance, Ringkasan Eksekutif Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2010, diakses tanggal 21 Oktober 2014
Heru Praptana, R dan M. Yasin, 2008.  Peranan Bioteknologi Dalam Pengelolaan Penyakit Tungro, PenelitipadaLokaPenelitianPenyakitTungro,Lanrang,SulawesiSelatan, IptekTanamanPanganVol.3No.1-2008, diakses pada tanggal 22 Oktober 2014.
Hidayat dkk, 2004.  Kajian ciri morfologi dan molekuler kutu kebul (homoptera : aleyrodidae) sebagai dasar pengendalian penyakit geminivirus pada tanaman sayuran. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7081, diakses pada tanggal 26 Oktober 2014.
Iswari S. Dewi dkk, 2004. Evaluasi Tanaman Padi Haploid Ganda Calon Tetua Padi Hibrida terhadap Wereng Batang Coklat dan Hawar Daun Bakteri, Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian BB-Biogen Tahun 2004, diakses tanggal 22 Oktober 2014
I Nyoman Widiarta, 2010. Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant): Dinamika populasi Dan StrategiPengendaliannya Sebagai VektorPenyakit Tungro.
Moch Sodiq, 2009.  Ketahanan Tanaman Terhadap Hama, Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “, Jawa Timur.
Permana Y,  2012. Entomologi Pertanian :  Pengendalian Hama, yoga permana.wordpress.com/ .../entomologi-pertanian... Juni 15, 2012, diakses tanggal 23 Oktober 2014.

Rugaya, A dan Dahyar, 2013. Identifikasi Biotipe Wereng Batang CoklatNilaparvata LugensStal (Delphacidae, Homotera) Kaloni Kabupaten Takalar, Balai Proteksi Tanaman Pangan dan HortikulturaSulawesi Selatan, Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013, diakses tanggal 22 Oktober 2014.
Riyanto, 2010. Cara Serangga MematahkanPertahanan Tanaman, FORUM MIPA Vol. 13 No. 1 Edisi Januari 2010, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Trisno Jumsu dkk, 2010. Hubungan Strain Geminivirus Dan Serangga VektorB. TabaciDalamMenimbulkan Penyakit Kuning Keriting Cabai, Manggaro, April 2010Vol.11 No.1:1-7, diakses pada tanggal 25 Oktober 2014


Takashi Wada, KiyomitsuIto dan Akihiko Takahashi, 1994. Biotype Comparisons of the Brown Planthopper, Nilaparvatalugens(Homoptera: Delphacidae) Collectedin Japan and the Indochina Peninsula, Japanese Society of Applied Entomology and Zoology, Appl. Entomol. Zool. 29 (4): 477-484 (1994), diakses pada tanggal 28 Oktober 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar